[{"id":"70","judul":"Paradigma Baru Berantas Korupsi Berbasis Pemulihan Kerugian Negara","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Purnomojoyo, Sapto Heru","tempat":"Jakarta","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"Kerugian Negara","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-06-14","updated_at":null,"user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/Rampasan_KPK_14_Juni_2025.jpg","dilihat":"1","deskripsi":"

Jakarta (ANTARA) - Rentetan pengungkapan kasus tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum mewarnai awal tahun 2025. Kasus-kasus kelas kakap satu per satu diungkap, dengan nilai barang bukti yang terbilang fantastis.<\/p>\r\n


Sebut saja kasus korupsi PT Timah yang merugikan negara sebesar Rp 300 triliun, kasus tata kelola minyak mentah Pertamina Rp 193 triliun, hingga kasus PT Duta Palma Group yang mencapai Rp 104 triliun.

Istilah “Liga Korupsi Indonesia” pun mengemuka, yang menggambarkan betapa masif dan sistemiknya praktik korupsi d iberbagai sektor esensial.<\/p>\r\n


Namun, di sisi lain pengungkapan demi pengungkapan tersebut mengindikasikan besarnya komitmen aparat penegak hukum, baik Polri, KPK, maupun Kejaksaan, terhadap upaya pemberantasan praktik rasuah.

Hal itu senada dengan pekik Presiden Prabowo Subianto dalam setiap pidato kenegaraan yang menyatakan perang terbuka terhadap korupsi. Pernyataan yang kini telah diinterpretasikan pada poin ke tujuh Asta Cita menuju Indonesia Maju.<\/p>\r\n


Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Parulian Aritonang memandang pengungkapan skandal korupsi bernilai triliunan itu tak sebatas \"glorifikasi\", tetapi menjadi oksigen untuk memompa harapan dan optimisme dalam penegakan hukum di tanah air.<\/p>\r\n


Kinerja aparat penegak hukum yang selama ini dinilainya hanya untuk menggugurkan tugas semata, kini membawa tampilan baru di etalase, yang diharapkan mampu membangkitkan kepercayaan publik di tengah merosotnya indeks pembangunan hukum di Indonesia.<\/p>\r\n


\"Kondisi situasi saat ini membawa angin segar. Saya pun melihat ini sebagai potensi yang baik untuk masa pemerintahan sekarang dimulai dengan hal yang baik di mana keinginan untuk mengungkap tindak pidana itu sangat besar\", kata Parulian.<\/p>\r\n


Upaya Pengembalian Kerugian Negara<\/strong><\/p>\r\n


Besarnya komitmen aparat penegak hukum dalam membongkar praktik culas korupsi diharapkan selaras dengan upaya pengembalian kerugian negara.<\/p>\r\n


Hal ini didasari oleh prinsip bahwa tindak pidana korupsi selain hukum pidana, juga mengakibatkan kerugian keuangan negara yang harus dipulihkan demi kepentingan publik yang lebih luas.<\/p>\r\n

Pemerintah telah menetapkan mekanisme pengembalian harta hasil korupsi tersebut melalui sejumlah Undang-Undang. Salah satunya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 mengenai pembayaran uang pengganti dan mekanisme lelang.<\/p>\r\n

Dalam dua tahun terakhir, triliunan rupiah uang rakyat hasil tindak pidana korupsi telah dikembalikan ke kas negara dari hasil pengungkapan aparat penegak hukum, baik Komisi Pemberantasan Korupsi maupun Kejaksaan.

Merunut dari data Direktorat Lelang DJKN Kementerian Keuangan, pada tahun 2023 kerugian keuangan negara hasil korupsi yang berhasil dikembalikan sebesar Rp44,34 triliun. Kemudian, nilainya meningkat di tahun 2024 mencapai Rp48 triliun. Dari jumlah itu Rp2,95 triliun di antaranya dikembalikan melalui mekanisme lelang.<\/p>\r\n


Direktur Lelang DJKN Tavianto Noegroho menyatakan bahwa barang sitaan hasil korupsi yang dapat dilelang pada dasarnya meliputi semua jenis benda, baik berwujud atau tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang secara hukum dan sosial ekonomi dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh subjek hukum yang memenuhi kriteria.<\/p>\r\n


Adapun kriteria tersebut di antaranya; Pertama, dalam proses penyidikan terdapat persetujuan dari tersangka. Namun, persetujuan tersebut tidak mutlak karena penyidik memiliki hak subjektif untuk memastikan bahwa barang yang dimaksud harus dilelang karena merugikan negara, bisa berbahaya bagi orang lain, dan rentan rusak.<\/p>\r\n


Kedua, apabila proses pidana sudah memasuki tahap pelimpahan berkas ke pengadilan, maka lelang terlebih dahulu harus meminta izin menjual dari Majelis Hakim yang menyidangkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.<\/p>\r\n

Ketiga, apabila proses pidana telah memutuskan barang sitaan tersebut dirampas, maka ekskutor dalam hal ini penyidik atau penuntut umum mengajukan permohonan lelang ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang saat ini berjumlah 71 unit dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Seluruh tahapan lelang dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dengan demikian, masyarakat dapat berpartisipasi dalam lelang dengan keyakinan bahwa proses lelang berjalan secara terbuka dan berkeadilan.<\/p>\r\n


Peran Rumah Penyimpanan Barang Sitaan<\/strong><\/p>\r\n


Pencapaian optimal dalam upaya mengembalikan kerugian keuangan negara dari hasil lelang tidak lepas dari keberpihakan pemerintah dalam menghadirkan Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan (Rupbasan) yang representatif.<\/p>\r\n


Rupbasan menjadi elemen penting untuk mengamankan, mengelola, dan merawat barang-barang sitaan agar tidak mengalami penurunan nilai atau depresiasi.<\/p>\r\n

Pengelolaan barang bukti yang efektif dan transparan tersebut juga menjadi bagian penatausahaan barang rampasan negara yang dilakukan oleh Direktorat Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi (Labuksi) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hal ini dilakukan sebagai upaya optimalisasi asset recovery melalui fungsi Rumah Penyimpanan Benda Sitaan dan Rampasan yang KPK miliki.<\/p>\r\n


Fungsi utamanya itu ada dua; Pertama, bagaimana mengamankan barang-barang yang disita dalam perkara yang ditangani oleh KPK untuk kepentingan pembuktian. Yang kedua, bagaimana mengoptimalkan Asset Recovery yaitu dengan perawatan yang maksimal. Jadi, tidak hanya menyimpan, kita juga mengamankan dan juga merawat.
Rupbasan KPK yang terletak di Jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur itu memiliki beberapa segmentasi gedung dan dilengkapi dengan fasilitas super canggih. Sistem keamanan dirancang menggunakan teknologi Electromagnetic Lock and Card Reader <\/em>dan Intellegent Key, Marpho Wave<\/em>, serta kamera pengawas yang beroperasi selama 24 jam.<\/p>\r\n


Fasilitas untuk merawat barang sitaan juga tak kalah canggih. Terdapat mesin pencuci kendaraan otomatis yang dapat membersihkan roda empat hanya dengan satu kali pijatan tombol.

Suhu udara dan tingkat kelembaban di tiap-tiap ruangan diatur sedemikian rupa agar barang-barang yang masuk ke dalam kategori Luxury Goods<\/em> tidak berjamur dan mengalami kerusakan.

Berbagai upaya dan perlakuan terhadap barang sitaan hasil korupsi di Rupbasan KPK, berkorelasi dengan raihan jumlah aset dan kerugian keuangan negara yang berhasil dipulihkan, yakni sebesar Rp 739 miliar pada tahun 2024. Dari jumlah tersebut, Rp 43 miliar di antaranya berasal dari proses lelang melalui mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP.<\/p>\r\n

Optimalisasi peran Badan Pemulihan Aset Kejagung<\/p>\r\n


Manifestasi dalam memeriangi tindak pidana korupsi saat ini mulai mengalami pergeseran dari pemberian hukuman kepada pelaku kejahatan, menjadi upaya untuk memulihkan aset negara yang hilang karena kejahatan rasuah.<\/p>\r\n


Dengan merampas hasil kejahatan, maka para \"pencuri berdasi\" diharapkan akan hilang motivasi untuk melakukan perbuatannya, dan di saat yang bersamaan negara dapat kembali menguasai kekayaannya.

Kejaksaan Agung Republik Indonesia sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan negara menyadari betul bahwa pemulihan aset menjadi strategi mutakhir untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Untuk itu, Badan Pemulihan Aset (BPA) Kejaksaan Agung dibentuk sebagai bagian dari organ struktur Korps Adhyaksa sekaligus menjadi titik sentral dalam upaya mewujudkan penegakkan hukum yang berorientasi pada pemulihan keuangan serta perekonomian negara.<\/p>\r\n


Berbekal Peraturan Presiden (PP) Nomor 15 tahun 2024 mengenai organisasi dan tata kerja Kejaksaan Republik Indonesia, BPA hadir dengan segala tugas dan wewenangnya dalam menyelenggarakan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara.<\/p>\r\n

\"Keberadaan BPA ini menjadi sangat penting sebagai komitmen terhadap pemberantasan korupsi yang berorientasi pada pemulihan keuangan negara\", kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar.<\/p>\r\n


Dalam upaya memaksimalkan perannya, satuan kerja BPA mengakar hingga ke tingkat Kejaksaan Negeri di 49 wilayah melalui Gedung Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan.<\/p>\r\n


Pengelolaan aset di gedung tersebut dilakukan secara profesional, dirawat dengan ketelatenan oleh para pekerja terlatih, sehingga seluruh aset dipastikan dalam kondisi baik dan tidak mengalami penyusutan nilai.

Komitmen dan konsistensi BPA dalam merawat barang sitaan berbuah manis dan selaras dengan jumlah pengembalian kerugian keuangan negara yang cukup signifikan yakni sebesar Rp1,32 triliun pada tahun 2024.

Jumlah itu berasal dari berbagai mekanisme pengembalian di antaranya; lelang eksekusi, setoran uang tunai, penyelesaian uang pengganti, dan penjualan langsung. Sementara itu, hingga pertengahan tahun 2025 (bulan Mei) kerugian keuangan negara yang berhasil dikembalikan mencapai Rp600 miliar.

Pengembalian kerugian keuangan negara dari hasil korupsi tersebut diyakini akan semakin optimal, terlebih saat ini BPA Kejagung telah melakukan serah terima pengelolaan Rupbasan dari sebelumnya dikelola oleh Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas).<\/p>\r\n


Dari 64 rupbasan yang akan diserahterimakan, saat ini baru 5 rupbasan yang pengelolaannya telah dialihkan ke Kejakaan, sementara 59 rupbasan lainnya akan beralih secara bertahap.<\/p>"},{"id":"69","judul":"Menkum: Penyelesaian Sengketa Pulau Aceh-Sumut Tupoksi Kemendagri","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Khalida Susthira, Melalusa","tempat":"Jakarta","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Administrasi Negara","subjek":"Sengketa Pulau","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-06-14","updated_at":null,"user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/Menkum_13_Juni_2025.jpg","dilihat":null,"deskripsi":"

Jakarta (ANTARA) - Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa penyelesaian sengketa empat pulau antara Pemerintah Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara menjadi tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) Kementerian Dalam Negeri.<\/p>\r\n

\"Iya masalahnya kan itu tupoksinya, tusi-nya Kemendagri,\" kata Supratman ditemui usai menghadiri acara pembukaan pelatihan paralegal untuk kelompok organisasi kemasyarakatan di Kementerian Hukum, Jakarta, Sabtu.<\/p>\r\n

Ia mengatakan bahwa penyelesaian polemik Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek itu bukan menjadi ranah dan kewenangan Kementerian Hukum.<\/p>\r\n

Hal itu disampaikan Menkum ketika ditanyakan perihal pernyataan Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 RI Jusuf Kalla yang menyatakan keputusan Menteri Dalam Negeri terkait status empat pulau tersebut cacat formil.<\/p>\r\n

\"Kalau itu kan nanti akan diselesaikan oleh Pak Mendagri, bukan domain Kementerian Hukum,\" ucap Supratman.<\/p>\r\n

Masih pada kesempatan sama, Menkum menyinggung bahwa pemerintah juga sedang menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh.<\/p>\r\n

Meski demikian, mantan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI itu juga enggan memberikan penjelasan lebih jauh terkait muatan materi RUU Pemerintahan Aceh tersebut.<\/p>\r\n

\"Iya itu nanti. Makanya saya bilang tupoksinya bukan di sini. Ya kita lagi mempersiapkan RUU tentang Pemerintah Aceh,\" ujarnya.<\/p>\r\n

Sebelumnya, pada Jumat (13\/6), Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 RI Jusuf Kalla mengatakan Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang mengatur empat pulau masuk ke wilayah Sumatera Utara cacat secara formil.<\/p>\r\n

Jusuf Kalla mengungkapkan bahwa empat pulau itu secara historis masuk wilayah Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara.<\/p>\r\n

Ia mengatakan undang-undang tersebut juga menjadi rujukan bagi memorandum of understanding<\/em> (MoU) atau Perjanjian Helsinki antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005, yang mengakhiri konflik selama hampir 30 tahun di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (kini Aceh).<\/p>\r\n

\"Iya ,benar (Kepmendagri cacat formil) bahwa Aceh itu, termasuk kabupaten-kabupatennya, dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956. Itulah kenapa MoU ini menyebut undang-undang itu,\" ujar JK saat memberikan keterangan pers di kediamannya, Jalan Brawijaya, Jakarta Selatan.<\/p>"},{"id":"68","judul":"Pengamat Komunikasi: Perlu Regulasi Terkait Penggunaan AI","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Sumarwoto","tempat":"Purwokerto","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Administrasi Negara","subjek":"Penggunaan AI","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-06-14","updated_at":"2025-06-14","user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/AI_12_Juni_2025.jpg","dilihat":"2","deskripsi":"

Purwokerto (ANTARA) - Pengamat komunikasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Dr. Edi Santoso memandang perlu regulasi terkait dengan penggunaan akal imitasi (artificial intelligence\/AI) untuk kehidupan sehari-hari.<\/p>\r\n

\"Sangat perlu adanya regulasi terkait dengan penggunaan akal imitasi karena AI ini pertumbuhan dan perkembangannya sangat cepat,\" kata Dr. Edi Santoso di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.<\/p>\r\n

Ketika masyarakat masih dipusingkan oleh penyebaran hoaks konvensional yang dilakukan dengan sekadar merekayasa judul berita dan tangkapan layarnya dibagikan melalui media sosial, menurut Dr. Edi, saat sekarang muncul kebohongan yang makin sulit diidentifikasi karena menggunakan akal imitasi.<\/p>\r\n

Dalam hal ini, kata dia, video maupun audio dapat dibuat dengan menggunakan teknologi akal imitasi.<\/p>\r\n

\"Itu makin sulit untuk diidentifikasi asli atau tidaknya, terutama bagi orang-orang yang tidak memiliki atau tingkat literasi medianya rendah,\" katanya.<\/p>\r\n

Oleh karena itu, lanjut dia, regulasi terkait dengan penggunaan AI sangat mendesak untuk segera disusun mengingat adanya isu-isu lain yang bisa berkaitan dengan permasalahan tersebut seperti hak cipta dan sebagainya.<\/p>\r\n

Menurut dia, hal itu karena saat sekarang karya-karya seni begitu mudah direplikasi dengan menggunakan akal imitasi.<\/p>\r\n

\"Pertumbuhan di sisi ini (akal imitasi, red.) begitu cepat, tetapi regulasi yang mengaturnya tertatih-tatih, sangat lambat. Jadi, saya kira regulasi mengenai penggunaan AI ini sangat mendesak,\" kata Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Unsoed itu.<\/p>\r\n

Terkait dengan media sosial, dia mengakui media sosial saat sekarang mengalami perkembangan luar biasa dan sudah bisa dikatakan menjadi media utama.<\/p>\r\n

Menurut dia, hal itu karena sejumlah data menyebutkan bahwa sekitar 70 persen pengguna internet merupakan pengguna media sosial.<\/p>\r\n

\"Artinya, dia (media sosial, red.) sudah bukan lagi media alternatif, sebaliknya menjadi media utama. Nah, dalam konteks itu 'kan pertanyaannya apa yang kemudian dihasilkan oleh media sosial, atau apa yang berubah dari lanskap komunikasi,\" ucapnya.<\/p>\r\n

Ketika pertama media sosial lahir, kata dia, saat itu orang berpikir bahwa inilah era demokratisasi media karena orang tidak hanya bisa mengonsumsi, tetapi juga bisa sekaligus memproduksi pesan.<\/p>\r\n

Akan tetapi, dalam perjalanannya, media sosial ada sisi-sisi yang semula tidak dibayangkan karena adanya variabel lain.<\/p>\r\n

\"Itu karena ternyata kita tidak setara dengan apa yang kita bayangkan dalam berinteraksi dengan pengguna media sosial yang lain karena ada apa yang kita sebut dengan algoritma yang membuat interaksi kita dibatasi. Yang akhirnya menimbulkan banyak ekses seperti filter bubble<\/em> dan echo chamber<\/em>,\" katanya.<\/p>\r\n

Dr. Edi mengemukakan bahwa fenomena tersebut membuat banyak persoalan, misalnya orang merasa pendapatnya mewakili pendapat mayoritas karena melihat sekelilingnya, yakni orang-orang yang diikuti dalam media sosial, padahal itu tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya.<\/p>\r\n

Selain itu, kata dia, media sosial juga mengantisipasi munculnya pesan-pesan yang tidak kondusif atau pesan yang memiliki efek destruksi.<\/p>\r\n

\"Hoaks itu bukan hal baru, dari dahulu ada hoaks. Akan tetapi, lewat media sosial, penyebaran hoaks makin kian masif, dan seiring dengan itu muncul ujaran kebencian karena media sosial itu massal dan pesan bisa menyebar begitu cepat,\" katanya.<\/p>\r\n

Oleh karena itu, kata dia, literasi digital kepada pengguna media sosial perlu secara masif untuk mengantisipasi penyebaran hoaks maupun ujaran kebencian.<\/p>\r\n

Kendati memiliki sisi negatif, dia mengakui media sosial juga memiliki banyak sisi positif karena adanya interaktivitas dan akses pada informasi.<\/p>\r\n

\"Itu juga hal yang tidak bisa kita pungkiri. Dahulu informasi terbatas pada kalangan tertentu, sekarang ketika internet dan perangkat digital dipakai oleh banyak orang, semua orang juga punya akses informasi yang melimpah,\" kata Dr. Edi.<\/p>"},{"id":"67","judul":"Pengamat: Kenaikan Gaji Hakim Dapat Tekan Korupsi Karena Kebutuhan","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Mulya, Fath Putra","tempat":"Jakarta","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"Gaji Hakim","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-06-14","updated_at":null,"user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/Prabowo_12_Juni_2025.jpg","dilihat":"2","deskripsi":"

Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengatakan bahwa kebijakan pemerintah menaikkan gaji hakim dapat menekan korupsi peradilan yang disebabkan masalah kebutuhan (corruption by need<\/em>).<\/p>\r\n

“Peningkatan kesejahteraan dari hakim itu dapat menekan korupsi karena masalah kebutuhan atau biasanya disebut sebagai corruption by need<\/em>,” kata Zaenur saat dihubungi dari Jakarta, Jumat.<\/p>\r\n

Zaenur mencontohkan kondisi kehidupan hakim yang bertugas di daerah terpencil.<\/p>\r\n

Menurut dia, gaji yang sepadan akan memenuhi kebutuhan hidup yang cenderung lebih tinggi dibanding daerah lainnya.<\/p>\r\n

“Misalnya, gaji hakim terbatas, tetapi hakimnya tinggal di area remote<\/em> (terpencil) yang memiliki tingkat kemahalan harga yang jauh lebih tinggi sehingga ada kebutuhan nyata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” tuturnya.<\/p>\r\n

“Karena gajinya masih terbatas maka risiko untuk menerima godaan suap atau gratifikasi itu jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, dengan dinaikkannya gaji hakim maka risiko untuk corruption by need<\/em> itu dapat menjadi lebih rendah,” sambung dia.<\/p>\r\n

Dia pun menilai keputusan menaikkan kesejahteraan hakim merupakan langkah tepat. Terlebih, gaji hakim di Indonesia tidak mengalami kenaikan signifikan dalam periode yang lama.<\/p>\r\n

Kendati begitu, dalam konteks rasuah, Zaenur mengingatkan bahwa terdapat pula korupsi yang disebabkan oleh keserakahan (corruption by greed<\/em>). Korupsi jenis itu dinilai tidak bisa diberantas hanya dengan meningkatkan kesejahteraan.<\/p>\r\n

Dalam hal ini, ia menyoroti hakim-hakim yang terkena operasi tangkap tangan oleh aparat penegak hukum lantaran diduga terlibat tindak pidana korupsi.<\/p>\r\n

Ia menyebut hakim-hakim itu cenderung senior.<\/p>\r\n

“Tingkat kesejahteraannya sudah sangat tinggi itu masih menerima suap, bahkan untuk hakim agung, sehingga itu menunjukkan bahwa untuk yang corruption by greed<\/em> tidak bisa diselesaikan dengan meningkatkan kesejahteraan. Butuh solusi lainnya, tidak sekadar menaikkan gaji hakim,” katanya.<\/p>\r\n

Solusi yang dimaksud Zaenur menyangkut langkah terpadu, mulai dari perbaikan manajemen sumber daya manusia peradilan (SDM) hingga perbaikan kualitas pengawasan.<\/p>\r\n

Manajemen SDM dapat dilakukan dengan menempatkan hakim-hakim berintegritas menjadi pimpinan di masing-masing satuan kerja, sementara perbaikan pengawasan dilakukan dengan penjatuhan sanksi yang tegas dan keras.<\/p>\r\n

“Jadi, memang ini (menaikkan gaji hakim) adalah satu langkah baik, langkah penting, langkah perlu, tetapi tidak menjadi silver bullet<\/em> (peluru perak\/solusi ajaib) yang akan menyelesaikan semua masalah korupsi, masih dibutuhkan langkah-langkah lain,” imbuhnya.<\/p>\r\n

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto saat menghadiri pengukuhan 1.451 hakim pengadilan tingkat pertama di Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (12\/6), mengumumkan kenaikan gaji hakim hingga 280 persen dari gaji saat ini.<\/p>\r\n

“18 tahun hakim tidak menerima kenaikan, 3 persen pun tidak, 5 persen pun tidak. Hari ini, Presiden Prabowo Subianto ambil keputusan naik, yang paling junior 280 persen,\" kata Presiden dalam sambutannya.<\/p>\r\n

Presiden Prabowo menyebut kenaikan gaji hakim tersebut bervariasi, tetapi yang tertinggi mencapai 280 persen untuk hakim golongan paling junior.<\/p>\r\n

Kebijakan itu diambil demi meningkatkan kesejahteraan para hakim. Presiden pun menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukan bentuk pemanjaan, melainkan langkah strategis untuk memperkuat integritas sistem hukum nasional.<\/p>"},{"id":"66","judul":"Antara Ekspresi, Kritik, dan Ancaman Hukum ","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Sommaliagustina, Desi","tempat":"Jakarta","sumber":"Kompas.com","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"Kritik Ancaman Hukum","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-05-15","updated_at":null,"user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/Ekspresi_14_mei_2025.jpg","dilihat":null,"deskripsi":"

DUNIA maya kembali dihebohkan unggahan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang memuat meme satir terhadap presiden. Meme tersebut menggambarkan presiden dalam situasi yang dinilai tidak etis, bahkan oleh sebagian pihak dianggap menghina simbol negara. Tak berselang lama, unggahan itu viral, menarik atensi publik, media, dan yang paling mencengangkan memicu laporan ke pihak berwajib. Pertanyaannya, apakah meme semacam itu benar-benar bentuk kejahatan? Ataukah justru manifestasi paling jujur dari kekecewaan warga negara terhadap pemimpinnya? Secara yuridis, kita perlu terlebih dahulu membedakan antara \"kritik\", \"satir\", dan \"penghinaan\". Ketiganya sering kali tumpang tindih dalam tafsir publik, tapi masing-masing memiliki posisi berbeda dalam sistem hukum Indonesia. Meme yang diunggah mahasiswa ITB dapat dikategorikan sebagai bentuk satir politik.<\/p>\r\n

Dalam kamus Cambridge, satire berarti “a way of criticizing people or ideas in a humorous way, or a piece of writing or play that uses this style.”
Dalam banyak tradisi demokrasi, satire dilindungi sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.
Namun, di Indonesia, payung hukum yang digunakan untuk menindak ekspresi semacam ini kerap menggunakan pasal-pasal karet. UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2), kerap dijadikan senjata untuk membungkam suara-suara kritis, dengan dalih menjaga ketertiban atau mencegah ujaran kebencian. Yang menjadi masalah bukanlah keberadaan hukum, melainkan elastisitasnya. Pasal-pasal ini bisa mengakomodasi banyak tafsir, tergantung siapa yang membacanya. Dalam kasus meme mahasiswa ITB, pengunggahan tersebut segera dihubungkan dengan dugaan penghinaan terhadap presiden. Padahal Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 013-022\/PUU-IV\/2006 telah menyatakan bahwa penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tidak lagi merupakan delik pidana. Sayangnya, aparat sering kali mengabaikan norma konstitusi ini dan lebih memilih tafsir sempit melalui pasal-pasal pidana. Akibatnya, publik dicekam ketakutan berekspresi. Fenomena ini bahkan dikenal dalam kajian hukum kebebasan sipil sebagai “chilling effect” di mana warga negara memilih diam karena takut pada represi hukum. Mengapa negara gampang tersinggung? Pertanyaan mendasar adalah: mengapa negara lewat aparaturnya begitu cepat bereaksi terhadap kritik, bahkan dalam bentuk meme? Apakah negara hari ini sedang mengalami \"krisis legitimasi\", sehingga kekuasaan merasa perlu untuk terus-menerus menegakkan wibawa melalui hukum, alih-alih menjawab substansi dari kritik?<\/p>\r\n


Meme mahasiswa ITB bisa saja dinilai tidak pantas oleh sebagian kalangan, tapi terlalu jauh jika langsung dilaporkan sebagai tindak pidana.<\/p>\r\n


Ketika negara terlalu mudah tersinggung, dan menggunakan instrumen hukum pidana untuk membungkam kritik, maka di titik itu negara sedang berjalan mundur dari semangat demokrasi. Alih-alih menunjukkan kekuatan, pelaporan ini justru mengindikasikan ketidakmatangan politik. Negara yang kuat adalah negara yang tahan terhadap kritik, bahkan kritik yang pahit sekalipun. Thomas Jefferson pernah berkata, “Dissent is the highest form of patriotism.” Kritik bahkan dalam bentuk meme harus dipahami sebagai bagian dari keterlibatan publik dalam urusan negara. Fenomena mahasiswa membuat meme politik bukanlah hal baru. Di berbagai negara, mahasiswa adalah motor perubahan. Mereka berekspresi lewat orasi, seni, dan kini media sosial. Ketika ekspresi mahasiswa dibalas dengan kriminalisasi, maka yang terjadi adalah pengingkaran terhadap sejarah panjang gerakan mahasiswa. Jika negara bersikeras menindak mahasiswa yang mengunggah meme sebagai bentuk kritik, maka kita sedang menyaksikan kriminalisasi terhadap nurani kritis anak bangsa. Ini bukan sekadar soal UU ITE atau delik penghinaan, tetapi tentang demokrasi dan masa depan kebebasan akademik. Bagi kampus seperti ITB, yang selama ini dikenal sebagai kampus teknik dengan etos ilmiah tinggi, peristiwa ini menjadi pukulan tersendiri. Apakah ruang akademik kini tidak lagi cukup aman bagi mahasiswa untuk berekspresi? Apakah para rektor akan terus diam demi menjaga relasi kuasa dengan elite politik? Konstitusi Republik Indonesia, khususnya Pasal 28E UUD 1945, menjamin kebebasan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat. Jaminan ini tidak bersyarat pada \"kesopanan\" atau \"kenyamanan penguasa\", melainkan menjadi asas fundamental dalam negara hukum demokratis. Negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak tersebut, bukan sebaliknya: mencari-cari kesalahan untuk menghukumnya. Bila kritik dalam bentuk meme saja dilaporkan ke polisi, bagaimana nasib kritik ilmiah? Apakah kelak jurnal, opini, bahkan disertasi yang mengkritik kebijakan negara juga akan ditarik ke ranah pidana? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan berlebihan. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan meningkatnya laporan polisi terhadap ekspresi di media  sosial.<\/p>\r\n


Data SAFEnet menunjukkan bahwa sejak UU ITE diterapkan, lebih dari 300 orang telah diproses hukum karena unggahan mereka di internet. Angka yang mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, revisi UU ITE adalah keharusan. Pasal-pasal multitafsir seperti “penghinaan”, “pencemaran nama baik”, dan “penyebaran kebencian” harus diperjelas. Tanpa batasan yang ketat dan tegas, pasal-pasal ini akan terus digunakan untuk membungkam kritik, terutama terhadap pihak-pihak yang memiliki kekuasaan lebih besar. Sudah saatnya negara menyadari bahwa hukum pidana bukanlah alat untuk menjaga wibawa penguasa. Wibawa tidak dibentuk oleh pasal, tetapi oleh keteladanan. Pemimpin yang tangguh tidak mudah tersinggung, dan negara demokratis tidak takut pada kritik. Apa yang diunggah oleh mahasiswa ITB mungkin hanya meme, namun ia berbicara banyak tentang kondisi bangsa. Meme itu adalah cermin: barangkali kita tidak suka dengan apa yang tergambar di dalamnya, tapi menutup cermin tidak akan menghilangkan kenyataan. Jika negara terus-menerus menindak ekspresi publik dengan hukum pidana, maka kita harus bertanya: demokrasi ini milik siapa? Rakyatkah, atau penguasa semata?<\/p>"},{"id":"65","judul":"Kejagung Siapkan Instrumen Intelijen untuk Berantas Premanisme","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Octavia, Shela","tempat":"Jakarta","sumber":"Kompas.com","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"Berantas Premanisme","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-05-15","updated_at":"2025-05-15","user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/Kejagung_14_Mei_2025.jpg","dilihat":"2","deskripsi":"

JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung tengah menyiapkan sejumlah mekanisme pencegahan untuk menindaklanjuti arahan Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas premanisme. Salah satu yang disiapkan adalah sosialisasi terkait pemahaman hukum kepada organisasi masyarakat (ormas). “Terkait dengan upaya-upaya pencegahan, kami memiliki instrumen intelijen yang akan terus meningkatkan proses pemberian sosialisasi terhadap para organisasi masyarakat yang bekerja sama baik di pusat maupun di daerah tentunya,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, saat ditemui di depan Gedung Penerangan Hukum Kejagung, Jakarta, Rabu (14\/5\/2025).

Harli mengatakan, informasi dari intelijen ini akan menjadi dasar dari sosialisasi yang akan diberikan kejaksaan kepada masyarakat. Sosialisasi ini akan membahas mengenai kesadaran hukum dan ketertiban umum.

“Inilah tagline yang akan terus dibangun supaya organisasi-organisasi kemasyarakatan kita betul-betul bisa memahami arti pentingnya terkait dengan ketertiban umum,” imbuh Harli.

Selain pencegahan, Kejagung juga tengah menyiapkan sejumlah strategi untuk menjalankan penuntutan terhadap preman-preman yang diciduk polisi. Nantinya, jaksa-jaksa di daerah akan menerima catatan terkait hal-hal yang perlu diperhatikan saat hendak melakukan penuntutan terkait dengan premanisme. “Bagaimana sebagai penuntut umum supaya lebih tegas terhadap perkara-perkara yang terkait dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh, katakanlah, premanisme,” kata Harli.<\/p>\r\n


Sebelumnya diberitakan, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan Presiden Prabowo resah karena maraknya premanisme berkedok organisasi kemasyarakatan (ormas) yang membuat iklim usaha menjadi tidak kondusif. Prasetyo pun menegaskan bahwa Prabowo berpesan agar tidak boleh ada lagi aksi-aksi premanisme berbungkus ormas yang mengganggu iklim usaha. \"Tidak boleh aksi-aksi premanisme yang apalagi dibungkus dengan organisasi-organisasi tertentu, mengatasnamakan organisasi-organisasi masyarakat, tetapi justru tidak menciptakan iklim perusahaan yang kondusif,\" kata Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (9\/5\/2025). \"Jadi Pak Presiden, pemerintah, betul-betul resah,\" imbuh dia.<\/p>"},{"id":"64","judul":"Kapolri dan Menteri Hukum Merespons Soal TNI Jaga Kejaksaan","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Mulya, Fath Putra","tempat":"Jakarta","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"TNI Jaga Kejaksaan","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-05-15","updated_at":null,"user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/kapolri_dan_menkum_14_mei_2025.jpg","dilihat":null,"deskripsi":"

Jakarta (ANTARA) - Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyampaikan respons mereka soal perintah jajaran TNI untuk penjagaan keamanan kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri di seluruh Indonesia.<\/p>\r\n

Jenderal Polisi Sigit saat ditemui usai menghadiri acara penandatanganan nota kesepahaman di Graha Pengayoman, Kementerian Hukum, Jakarta, Rabu, tidak memberikan komentar banyak mengenai hal tersebut.<\/p>\r\n

“Yang jelas sinergitas TNI dan Polri semakin oke,” ucap Kapolri singkat.<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

Senada dengan Kapolri, Menteri Hukum juga meyakini bahwa sinergisitas antara Polri dan TNI harus semakin kuat. Dia pun menyebut tugas dan fungsi (tusi) terkait kewenangan penjagaan keamanan telah jelas.<\/p>\r\n

Di sisi lain, Supratman mengatakan Kementerian Hukum nantinya akan mencoba berkoordinasi dengan pihak-pihak tertentu mengenai penjagaan kejaksaan oleh TNI ini.<\/p>\r\n

“Kami tidak membicarakan itu dalam implementasi, ya, tapi nanti kami akan mencoba untuk menyampaikan, berkoordinasi, dengan seluruh pemangku kepentingan yang ada karena memang bukan tusi Kementerian Hukum yang terkait dengan hal tersebut,” kata dia.<\/p>\r\n

Sebelumnya, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Maruli Simanjuntak mengeluarkan Surat Telegram Nomor ST\/1192\/2025 tertanggal 6 Mei 2025 tentang perintah kepada jajaran untuk mendukung pengamanan kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri di seluruh wilayah Indonesia.<\/p>\r\n

Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigadir Jenderal TNI Wahyu Yudhayana mengatakan bahwa substansi dari surat ditujukan kepada jajaran Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) TNI AD itu berkaitan dengan kerja sama pengamanan di lingkungan institusi kejaksaan.<\/p>\r\n

\"Yang akan dilaksanakan ke depan adalah adanya kerja sama pengamanan secara institusi, sejalan dengan adanya struktur Jampidmil (Jaksa Agung Muda Pidana Militer) di kejaksaan,\" kata Wahyu saat dikonfirmasi di Jakarta, Minggu (11\/5).<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan bahwa diturunkannya personel TNI untuk membantu mengamankan kejaksaan merupakan bentuk dukungan TNI kepada Korps Adhyaksa.<\/p>\r\n

\"Pengamanan itu bentuk kerja sama TNI dengan Kejaksaan. Itu bentuk dukungan TNI ke Kejaksaan dalam menjalankan tugas-tugasnya,\" kata Harli kepada ANTARA di Jakarta, Minggu (11\/5).<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

Pengamanan itu akan dilakukan personel TNI kepada institusi kejaksaan hingga tingkat daerah, yakni kejaksaan negeri (kejari) dan kejaksaan tinggi (kejati).<\/p>\r\n

\"Untuk di daerah sedang berproses,\" imbuhnya.<\/p>"},{"id":"63","judul":"Kejagung: Pengamanan Dari TNI Tidak Ganggu Kerja Jaksa di Ranah Hukum","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Marison, Walda","tempat":"Jakarta","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"Pengamanan TNI","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-05-15","updated_at":"2025-05-15","user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/Pengamanan_Jaksa_14_Mei_2025.jpg","dilihat":"2","deskripsi":"

Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar menyatakan bahwa keterlibatan TNI dalam pengamanan objek vital Kejaksaan Agung tidak akan mengganggu tugas dan fungsi jaksa di ranah hukum.<\/p>\r\n

\"Saya sampaikan bahwa fungsi perbantuan dukungan pengamanan oleh TNI lebih bersifat pada pengamanan yang bersifat fisik terhadap aset, gedung,\" kata Harli saat ditemui wartawan di Jakarta, Rabu.<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

Berdasarkan MoU yang telah ditandatangani antara Kejaksaan Agung dan TNI, kata dia, prajurit hanya berfungsi menjaga beberapa objek vital milik kejaksaan di tingkat kota ataupun provinsi.<\/p>\r\n

\"TNI di satu sisi juga memiliki kewenangan untuk membantu pengamanan di kejaksaan. Wewenang itu diatur dalam UU TNI yang menjelaskan tentang pengamanan objek vital,\" ujarnya.<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

Mengacu pada UU TNI Pasal 7 ayat (2) menegaskan bahwa TNI dapat memberikan dukungan, bantuan pengamanan terhadap aset-aset atau objek vital strategis.<\/p>\r\n

Undang-undang itu, kata Harli, sekaligus menjadi pembatas wewenang TNI dalam menjalankan tugas di Kejaksaan Agung.<\/p>\r\n

Kapuspenkum menyebutkan beberapa kali TNI juga pernah menurunkan prajurit untuk pengamanan atas dasar permintaan kejaksaan.<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

Hal tersebut, menurut dia, terbukti efektif dalam memberikan rasa aman dan nyaman bagi jajaran kejaksaan dalam bekerja.<\/p>\r\n

\"Dengan adanya MoU, salah satu poinnya di situ adalah TNI dapat memberikan dukungan, perbantuan kepada pihak kejaksaan dalam menjalankan tugasnya,\" kata Harli.<\/p>"},{"id":"62","judul":"Kemenkum Teken Nota Kesepahaman Dengan 20 K\/L Untuk Harmonisasi Hukum","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Mulya, Fath Putra","tempat":"Jakarta","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Tata Negara","subjek":"Harmonisasi Hukum","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-05-15","updated_at":"2025-05-15","user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/Harmonisasi_14_Mei_2025.jpg","dilihat":null,"deskripsi":"

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Hukum (Kemenkum) meneken nota kesepahaman (MoU) dengan 20 kementerian\/lembaga (K\/L) dalam rangka meningkatkan dan memperkuat kolaborasi, koordinasi, serta harmonisasi hukum antarsektor.<\/p>\r\n

Penandatanganan dilakukan di Graha Pengayoman, Jakarta, Rabu, dengan dihadiri Menteri Hukum Supratman Andi Agtas serta perwakilan 20 K\/L, diantaranya Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi, Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya, dan Menteri Perdagangan Budi Santoso.<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

“Dengan kerjasama lintas kementerian ini tentu ini menjadi sesuatu hal yang sangat baik. Soliditas di antara seluruh kementerian akan nampak bahwa ego sektoral harus kita kesampingkan untuk tujuan yang baik, tujuan bersama dalam berbangsa dan bernegara,” ucap Supratman usai penandatanganan itu.<\/p>\r\n

Adapun 20 K\/L yang menandatangani nota kesepahaman dengan Kemenkum, antara lain, Mahkamah Agung, Bank Indonesia, \u2060Polri, \u2060Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Kementerian Kehutanan.<\/p>\r\n

Berikutnya, \u2060Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Koperasi, Kementerian Ekonomi Kreatif, \u2060Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), \u2060Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perdagangan, serta \u2060Kementerian BUMN.<\/p>\r\n

Kemudian, \u2060\u2060Kementerian Perhubungan, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, \u2060Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), \u2060Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha, serta \u2060Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.<\/p>\r\n

Dalam sambutannya, Supratman menjelaskan bahwa pascarestrukturasi, Kemenkum memiliki tiga direktorat jenderal (ditjen) yang siap berkolaborasi dengan K\/L, yakni Ditjen Peraturan Perundang-Undangan (PP), Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU), dan Ditjen Kekayaan Intelektual (KI).<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

Ditjen PP, misalnya, memiliki keterkaitan langsung dengan K\/L karena menyangkut soal penyusunan dan harmonisasi regulasi. Supratman menyebut Ditjen PP telah memiliki sistem i-Harmonisasi untuk pengharmonisan regulasi setingkat peraturan menteri, peraturan pemerintah, dan peraturan presiden.<\/p>\r\n

“Apa pun yang di bawah tingkatan undang-undang, dengan i-Harmonisasi yang kami kembangkan yang merupakan karya cipta anak sendiri di Ditjen PP, sekarang harmonisasi itu hanya membutuhkan waktu paling lama lima hari,” ujar Menteri Hukum.<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

Ia berpesan kepada K\/L untuk senantiasa berkoordinasi dengan Kemenkum melalui Ditjen PP mulai dari perencanaan penyusunan regulasi. Dengan begitu, ia meyakini tata hukum Indonesia dapat dikelola dengan baik sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.<\/p>"},{"id":"61","judul":"Membasmi Penyakit Sosial Bernama Premanisme","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Rahmani, Nadia Putri","tempat":"Jakarta","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"Premanisme","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-05-15","updated_at":"2025-05-15","user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/Premanisme_14_Mei_2025.jpg","dilihat":null,"deskripsi":"

Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan dengan viralnya sebuah video yang menggambarkan sekelompok orang merusuhi sebuah lahan kosong di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.<\/p>\r\n

Mereka yang berjumlah lebih dari lima orang tersebut menodongkan senapan angin serta senjata api ke arah lahan yang menjadi objek utama kericuhan. Lempar-melempar batu juga tak terelakkan dalam peristiwa tersebut.<\/p>\r\n

Usai kejadian tersebut viral di media sosial, personel Polres Metro Jakarta Selatan dengan cepat membekuk 10 orang yang terlibat.<\/p>\r\n

Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa aksi premanisme itu dipicu oleh adanya masalah perebutan lahan. Sebanyak 10 orang yang diamankan itu ternyata anggota jasa pengamanan yang dibayar oleh seseorang yang menyatakan diri punya sertifikat atas kepemilikan atas lahan tersebut.<\/p>\r\n

Aksi premanisme juga terjadi dengan modus berkedok organisasi masyarakat (ormas), salah satunya yang terjadi di Barito Selatan, Kalimantan Tengah (Kalteng). Ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Kalteng menyegel gedung milik PT Bumi Asri Pasaman (BAP) secara sepihak.<\/p>\r\n

Peristiwa penyegelan tersebut diketahui karena DPD GRIB Jaya Kalteng menerima kuasa dari Sukarto, seorang warga Barito Timur, yang terlibat dalam perselisihan bisnis jual beli karet dengan PT BAP.<\/p>\r\n

Atas terjadinya kasus tersebut, Polda Kalteng pun turun tangan dengan menerjunkan personel untuk menyelidiki dan memanggil Ketua DPD GRIB Kalteng.<\/p>\r\n

Meski dua kasus menonjol tersebut telah berakhir di tangan kepolisian, namun berita mengenai aksi premanisme masih saja terus saja bermunculan, baik itu yang dilakukan oleh individu maupun atas nama ormas.<\/p>\r\n

Masih banyak pula aksi premanisme yang tidak terdeteksi oleh radar yang mungkin terjadi dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Sesepele soal memberi uang kepada juru parkir (jukir) liar, bisa berubah menjadi tindakan premanisme jika adanya ketidakpuasan dari salah satu pihak.<\/p>\r\n

Jika tidak segera diatasi, masalah ini bisa memunculkan ketidakstabilan keamanan dan sosial. Bahkan, iklim ekonomi nasional juga bisa terganggu karena sedikitnya investor yang ingin menanamkan sahamnya.<\/p>\r\n

Apabila tidak ada investor yang menanamkan saham, maka akan menimbulkan efek domino pada negara karena akan mempengaruhi jumlah lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Jalan keluar pun menjadi kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi saat ini.<\/p>\r\n

Pemerintah pun langsung tancap gas untuk menyelesaikan masalah premanisme ini dengan membentuk Satuan Tugas Terpadu Operasi Penanganan Premanisme dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Meresahkan yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Politik dan Hukum.<\/p>\r\n

Selain satgas, penindakan di lapangan oleh aparat penegak hukum juga dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sejak 1 Mei 2025, Polri telah menggelar operasi pekat kewilayahan berdasarkan Surat Telegram Kapolri dengan nomor STR\/1081\/IV\/OPS.1.3.\/2025.<\/p>\r\n

Sasaran kejahatan premanisme yang menjadi fokus adalah pemerasan, perampasan, pungutan liar, pengancaman\/intimidasi, pengeroyokan, dan penganiayaan oleh individu maupun kelompok. Hingga tanggal 9 Mei 2025, kepolisian telah menindak 3.326 kasus premanisme.<\/p>\r\n


Solusi jangka panjang<\/strong><\/p>\r\n

Pemerintah sudah turun tangan. Begitu pula dengan aparat penegak hukum dengan satuan-satuannya. Tapi, apakah itu saja sudah cukup?<\/p>\r\n

Satu hal yang perlu diingat, permasalahan premanisme bukan masalah musiman.<\/p>\r\n

Berdasarkan data Pusiknas Polri, kasus premanisme berupa pengeroyokan meningkat selama 2022–2024. Pada 2022, kasus pengeroyokan berjumlah 8.830 kasus. Lalu, meningkat signifikan menjadi 16.502 kasus pada 2023 dan 17.107 kasus pada 2024.<\/p>\r\n

Selain pengeroyokan, Polri juga mencatat bahwa kasus premanisme berupa perampasan pada 2022-2024 menyentuh angka ribuan. Pada tahun 2022, tercatat terdapat 3.269 kasus. Namun, jumlahnya meningkat signifikan menjadi 4.784 kasus pada tahun 2023 dan sedikit turun pada 2024 menjadi 4.654.<\/p>\r\n

Sejatinya, Polri pernah melakukan operasi khusus untuk menumpas aksi premanisme pada 2021. Pada saat itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memerintahkan agar polda dan polres menindak tegas oknum-oknum yang melakukan aksi premanisme dan tidak memberikan ruang bagi premanisme sedikitpun.<\/p>\r\n

Instruksi ini merupakan respons cepat Polri guna menanggapi maraknya premanisme yang pada saat itu makin meresahkan, utamanya preman yang kerap melakukan pemalakan terhadap sopir kontainer di wilayah Jakarta Utara.<\/p>\r\n

Namun, jika berkaca dari data Pusiknas Polri, jumlah kasus premanisme tidak turunpada tahun-tahun berikutnya. Artinya, penegakan hukum saja tidak cukup untuk menangani masalah ini.<\/p>\r\n

Guru Besar Kriminolog Universitas Indonesia Muhammad Mustofa pernah mengatakan bahwa kejahatan premanisme tidak mungkin akan hilang, tetapi berfluktuasi.<\/p>\r\n

Jika ada penindakan oleh aparat penegak hukum, maka jumlahnya berkurang. Akan tetapi, jika penindakan kembali longgar karena adanya prioritas lain, maka premanisme akan kembali muncul.<\/p>\r\n

Maka, diperlukan langkah-langkah pencegahan yang berdampak jangka panjang serta mengatasi akar masalah yang ada agar kejahatan ini bisa berhenti.<\/p>\r\n

Guru Besar Kriminologi UI Adrianus Eliasta Meliala menilai bahwa munculnya kejahatan premanisme ini merupakan kombinasi dari beberapa hal, yaitu keterbatasan ekonomi, pendidikan rendah, mental menerabas atau cari gampang, struktur mobilitas politik yang macet, serta penegakan hukum yang lemah.<\/p>\r\n

Pendidikan rendah, kata dia, menjadikan orang tidak mampu berkompetisi sehingga hanya dengan berkumpul saja, mereka memiliki nilai tawar lebih. Selain itu, ekonomi terbatas juga menjadikan kegiatan preman sebagai hal yang menarik karena dengan upaya terbatas, bisa memperoleh banyak uang.<\/p>\r\n

Pendidikan pun menjadi hal krusial utama yang harus diperbaiki. Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto pun telah mencanangkan program Sekolah Rakyat, yaitu pendidikan berasrama yang ditujukan khusus bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu.<\/p>\r\n

Saat ini, sudah terdapat 65 titik wilayah yang siap menyelenggarakan Sekolah Rakyat. Jika dijalankan dengan maksimal, program ini diharapkan bisa memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan sehingga tidak ada lagi warga Indonesia yang mencari penghidupan melalui kejahatan premanisme.<\/p>\r\n

Masalah lain yang harus dibenahi adalah aksi premanisme dengan memanfaatkan tunggangan ormas. Sebagaimana kata Adrianus, fenomena ini terjadi karena macetnya mobilitas sosial politik.<\/p>\r\n

“Jika dikatakan ormas adalah sumber kader parpol, maka sedikit sekali kader ormas yang bisa menjadi calon legislatif ataupun calon eksekutif,” ujarnya.<\/p>\r\n

Tidak adanya kesempatan bagi anggota ormas untuk melanjutkan karier menyebabkan munculnya oknum yang menunggangi ormas guna melancarkan aksi premanismenya, misalnya dengan melakukan pemerasan.<\/p>\r\n

Maka, dalam hal ini, pemerintah perlu menegaskan lagi tugas dan fungsi ormas dalam undang-undang. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian telah membuka peluang untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Organisasi Kemasyarakatan agar pengawasan terhadap ormas semakin ketat dan akuntabel.<\/p>\r\n

Menurut mantan Kapolri itu, salah satu hal yang perlu pengawasan ketat adalah transparansi keuangan. Tito menilai ketidakjelasan alur dan penggunaan dana ormas bisa menjadi celah untuk penyalahgunaan kekuasaan di tingkat akar rumput.<\/p>\r\n

Gagasan revisi tersebut turut diamini oleh Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno. Adapun Eddy menilai bahwa revisi UU Ormas tersebut dapat mempercepat proses likuidasi pembubaran ormas yang dinilai mengganggu ketertiban umum di tengah masyarakat.<\/p>\r\n

Kini, gagasan revisi UU Ormas berada di tangan pemerintah untuk diputuskan akan dijalankan atau tidak. Meski begitu, upaya ikhtiar tersebut menjadi secercah harapan bagi masyarakat yang menantikan kestabilan keamanan dan sosial di negeri khatulistiwa ini.<\/p>"},{"id":"60","judul":"Menjaga Maruah Negara Hukum","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Suhadi","tempat":"Jakarta","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Tata Negara","subjek":"Negaga Hukum","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-05-15","updated_at":"2025-05-15","user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/12_Mei_2025_Pemakzulan.jpg","dilihat":"4","deskripsi":"

Jakarta (ANTARA) - Penegakan hukum di negara hukum tidak boleh digiring oleh selera politik atau tekanan opini.<\/p>\r\n

Hukum harus menjadi jangkar yang kokoh bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan menjadi alat yang ditarik-ulur sesuai keinginan kelompok tertentu.<\/p>\r\n

Indonesia telah menyatakan diri sebagai negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Artinya, semua tindakan kenegaraan, termasuk pergantian kekuasaan, harus tunduk pada hukum yang berlaku.<\/p>\r\n

Namun dalam praktiknya, pemahaman atas hukum masih sering dikaburkan oleh kepentingan dan persepsi moral yang tidak berdasar pada ketentuan hukum positif.<\/p>\r\n

Contoh terbaru yang mencolok adalah munculnya wacana permakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, meskipun baru beberapa bulan dilantik bersama Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024.<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

Meskipun kemenangan pasangan Prabowo-Gibran tersebut telah ditetapkan sah dan bersifat konstitusional, baik secara politik maupun hukum, isu permakzulan tetap muncul.<\/p>\r\n

Di sinilah pentingnya pemahaman mendalam terhadap hukum positif. Dalam konstitusi yang telah diamandemen, mekanisme pemakzulan hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang sangat terbatas.<\/p>\r\n

Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden dan\/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.<\/p>\r\n

Prosedur tersebut pun harus melalui Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Presiden atau Wakil Presiden benar-benar terbukti secara hukum melakukan pelanggaran tersebut.<\/p>\r\n

Dengan kata lain, proses permakzulan bukan produk emosi, opini, atau gerakan moral, tetapi bagian dari hukum positif yang tunduk pada pembuktian objektif dan prosedur formal.<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

Di sinilah relevansi pendekatan positivisme<\/em> hukum menjadi penting. Auguste Comte, pelopor positivisme, meyakini bahwa hukum harus bersifat ilmiah, bebas dari spekulasi, dan didasarkan pada fakta empiris.<\/p>\r\n

John Austin melanjutkan dengan menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari otoritas yang sah dan harus dipatuhi.<\/p>\r\n

Sementara Hans Kelsen memperdalamnya dalam teori hukum murni, di mana hukum harus dibersihkan dari ideologi dan nilai-nilai moral subjektif.<\/p>\r\n

Bagi Kelsen, hukum positif, ius constitutum<\/em>, adalah satu-satunya hukum yang berlaku saat ini, ditetapkan oleh otoritas negara melalui prosedur konstitusional yang sah.<\/p>\r\n

Jika pendekatan ini digunakan untuk menilai wacana permakzulan terhadap seorang pejabat, maka jelas bahwa ide tersebut harus memiliki dasar hukum positif yang memadai.<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

Harus ada bukti yang menyatakan ia melakukan pengkhianatan, korupsi, atau tindak pidana berat.<\/p>\r\n

Tuduhan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi cacat, atau bahwa pencalonan yang tidak sah, harus diuji di jalur hukum dan dinyatakan tidak melanggar ketentuan.<\/p>\r\n

Oleh karena itu, membawa isu ini kembali ke ranah hukum berpotensi hanya akan mencederai integritas sistem hukum itu sendiri.<\/p>\r\n

Semua pihak harus menyadari bahwa dalam sistem civil law<\/em> seperti yang dianut Indonesia, hukum dibentuk oleh lembaga legislatif dan dijalankan oleh eksekutif, dengan pengawasan dari yudikatif.<\/p>\r\n

Hukum tertulis adalah sumber utama. Produk hukum seperti UUD, UU, dan peraturan turunannya adalah hukum positif yang mengikat.<\/p>\r\n

Ketika semua tahapan formal telah dilalui, mulai dari penetapan pencalonan, pelaksanaan pemilu, penghitungan suara oleh KPU, hingga pengujian oleh Mahkamah Konstitusi, maka hasilnya sah secara konstitusional.<\/p>\r\n

Tidak ada ruang untuk membatalkannya hanya berdasarkan ketidakpuasan politik atau perasaan tidak adil.<\/p>\r\n

Jika hukum bisa dibatalkan hanya karena ada narasi yang dibangun di ruang publik tanpa pembuktian formal, maka bangsa ini bukan sedang hidup dalam negara hukum, melainkan dalam negeri dongeng, di mana mimpi dan imajinasi bisa menggeser norma dan aturan.<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

Ini berbahaya karena akan melemahkan fondasi penegakan hukum dan menjadikan negara mudah terguncang oleh konflik yang tidak produktif.<\/p>\r\n

Justru yang lebih mendesak hari ini adalah memperkuat institusi penegak hukum agar independen, profesional, dan mampu menegakkan hukum tanpa pandang bulu.<\/p>\r\n

Bukan malah melemahkan hukum dengan wacana yang tidak berdasar. Kritik terhadap pemerintah tentu penting dalam demokrasi, tetapi harus disampaikan dalam kerangka hukum, dengan dasar konstitusional, dan bukan dengan mengoyak sistem dari dalam.<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

Penegakan hukum yang kuat adalah pelindung utama bagi semua pihak, termasuk bagi mereka yang berada dalam oposisi.<\/p>\r\n

Oleh karena itu, ini saatnya untuk menjaga hukum dengan akal sehat dan kesadaran sebagai warga negara.<\/p>\r\n

Jangan merusak tatanan yang telah disusun dengan susah payah hanya karena ketidakpuasan sesaat.<\/p>\r\n

Pemakzulan, misalnya, adalah instrumen konstitusional yang luar biasa, bukan senjata politik yang bisa digunakan sewaktu-waktu.<\/p>\r\n

Jika ada pelanggaran, maka buktikan melalui proses hukum. Tapi jika hanya ada perbedaan pandangan atau kekecewaan, maka salurkan melalui jalur demokrasi lainnya, bukan dengan merusak legitimasi hukum itu sendiri.<\/p>\r\n

Negara hukum hanya akan kuat jika seluruh elemen masyarakat bersedia menempatkan hukum sebagai rujukan tertinggi, bukan sekadar perhiasan dalam pidato dan kampanye.<\/p>\r\n

Masyarakat harus semakin dewasa dalam berdemokrasi dan bertanggung jawab dalam membangun bangsa.<\/p>\r\n

Jika terus membiarkan hukum dikendalikan oleh opini, bukan oleh norma, maka yang dihadapi bukan lagi pemerintahan yang lemah, tetapi negara yang kehilangan arah. Ketika itu terjadi, hukum tidak lagi menjadi panglima, melainkan hanya mitos yang terus diperdagangkan di pasar opini publik.<\/p>"},{"id":"59","judul":"Penyebab BBM Tercampur Air di SPBU Trucuk Terungkap, Pelaku Dipecat dan Diproses Hukum ","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Amar, Iqbal Muhammad","tempat":"Jakarta","sumber":"Kompas.com","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"BBM Tercampur Air ","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-04-10","updated_at":null,"user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/Pertamina_9_April_2025.jpeg","dilihat":null,"deskripsi":"

KOMPAS.com - Penyebab BBM tercampur air di SPBU Trucuk, Klaten, Jawa Tengah terungkap. Berdasarkan hasil investigasi internal, Pertamina mengungkapkan bahwa insiden BBM bercampur air di SPBU Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, merupakan tindakan yang disengaja. Pertamina menyampaikan, pelaku dalam kasus ini adalah oknum awak mobil tangki (AMT) yang bertugas mendistribusikan Pertalite ke SPBU tersebut, serta seorang oknum petugas SPBU. Akibat ulah keduanya, sebanyak 12 kendaraan yang terdiri dari 4 mobil dan 8 sepeda motor diketahui mengalami mogok usai mengisi BBM jenis Pertalite yang ternyata telah tercampur air. Untuk mencegah kerusakan yang lebih luas dan memastikan keamanan bagi konsumen, SPBU Trucuk pun telah ditutup sementara waktu.<\/p>\r\n


Pelanggaran SOP petugas secara sengaja Area Manager Communication, Relations & Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah, Taufiq Kurniawan, menjelaskan bahwa hasil investigasi internal menunjukkan adanya pelanggaran prosedur operasional yang dilakukan secara sengaja oleh oknum awak mobil tangki serta kelalaian dari petugas SPBU di Trucuk, Klaten. “Pertamina Patra Niaga memberikan sanksi tegas berupa pemecatan kepada oknum AMT dan menonaktifkan petugas SPBU yang terlibat,” terangnya saat diwawancarai Kompas.com, Rabu (9\/4\/2025). Taufiq menjelaskan, oknum AMT berinisial MJW sudah langsung diberhentikan setelah terbukti melakukan pelanggaran.<\/p>\r\n

 <\/p>\r\n

Sementara itu, satu AMT lainnya, berinisial Y, tengah menunggu proses hukum lebih lanjut. Untuk mendukung penegakan hukum, Pertamina Patra Niaga juga telah menyerahkan kedua AMT beserta petugas SPBU terkait kepada Polres Klaten. Sebagai bagian dari penanganan kasus, SPBU 44.574.29 Trucuk Klaten saat ini diberlakukan penghentian operasional (pembekuan) sampai batas waktu yang belum ditentukan, hingga proses investigasi tuntas dilakukan secara menyeluruh. Terkait dampak terhadap konsumen, pihak SPBU telah memberikan tanggung jawab penuh atas insiden tersebut. Sebanyak 12 kendaraan yang mengalami kerusakan akibat Pertalite tercampur air telah mendapatkan penanganan, termasuk perbaikan kendaraan di bengkel dan pengisian ulang bahan bakar dengan Pertamax pada Selasa pagi, 8 April 2025.<\/p>"},{"id":"58","judul":"Pengamat Sejalan Dengan Pandangan Presiden Soal Hukuman Mati","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Mulya, Fath Putra","tempat":"Jakarta","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"Hukuman Mati","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-04-10","updated_at":null,"user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/Hukuman_Mati_9_April_2025.jpg","dilihat":"3","deskripsi":"

Jakarta (ANTARA) - Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan bahwa pihaknya sejalan dengan pandangan Presiden RI Prabowo Subianto mengenai hukuman mati yang disampaikan saat wawancara dengan jurnalis senior.<\/p>\r\n

Dalam wawancara di kediamannya, Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Minggu (6\/4), Presiden mengatakan bahwa hukuman mati kalau bisa tidak diterapkan karena tidak memberikan ruang koreksi. Pernyataan itu disampaikan Presiden saat pembahasan mengenai hukuman bagi tindak pidana korupsi.<\/p>\r\n

\"Hal ini adalah pernyataan yang sejalan dengan pandangan ICJR yang menolak segala bentuk pidana mati dengan salah satu alasannya bahwa kesalahan proses peradilan akan selalu mungkin terjadi,\" ucap Maidinia dalam keterangan yang dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.<\/p>\r\n

Untuk itu, menurut ICJR, pandangan Presiden Prabowo harus terejawantahkan pada seluruh kebijakan hukum di Indonesia. Dalam hal ini, ICJR menyoroti revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang sedang disusun oleh Pemerintah.<\/p>\r\n

Berdasarkan data yang dihimpun ICJR, sebanyak 89 persen tuntutan dan putusan pidana mati berasal dari kebijakan narkotika di sepanjang tahun 2023. Selain itu, sebanyak 69 persen terpidana mati dalam deret tunggu eksekusi pidana mati juga berasal dari kebijakan narkotika.<\/p>\r\n

Dalam berbagai penelitian, sambung Maidina, ICJR juga menemukan bahwa terdapat dugaan pelanggaran hak atas peradilan yang adil bagi kasus pidana mati, terutama dari kasus narkotika. Klaim penyiksaan disebut cenderung berasal dari kasus narkotika.<\/p>\r\n

\"Jika kemudian Presiden menyatakan pidana mati tidak dapat dilaksanakan karena masih akan selalu ada potensi kesalahan, dalam pembahasan revisi Undang-Undang Narkotika, Presiden harus memerintahkan untuk menghapus tujuh ancaman pidana mati dalam Undang-Undang Narkotika saat ini,\" ujarnya.<\/p>\r\n

Presiden, lanjut dia, juga dapat menyegerakan penghapusan pidana mati dengan mempercepat pengubahan hukuman atau komutasi pidana mati bagi paling tidak 110 orang yang sudah dalam deret tunggu pidana mati lebih dari 10 tahun.<\/p>\r\n

Di sisi lain, Maidina juga menggarisbawahi pernyataan Presiden mengenai kekhawatirannya tentang bahaya narkoba.<\/p>\r\n

Menurut dia, komitmen Presiden untuk menyelamatkan anak bangsa dari dampak buruk narkoba perlu dibarengi dengan perbaikan kebijakan.<\/p>\r\n

\"Upaya memperbaiki kesalahan kebijakan perlu dijalankan dengan dekriminalisasi bagi pengguna narkotika, yaitu menghilangkan respons penghukuman bagi pengguna narkotika,\" imbuhnya.<\/p>\r\n

Lebih lanjut ICJR menyerukan agar Presiden harus berkomitmen untuk menghapuskan pidana mati dalam proses revisi Undang-Undang Narkotika dan mendukung dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika.<\/p>\r\n

\"Dudukkan kembali bahwa pengguna narkotika harus direspons dengan pendekatan kesehatan, bukan penegakan hukum yang punitif (bertujuan untuk menghukum) yang justru menjadi koruptif,\" demikian Maidina.<\/p>\r\n

Sebelumnya, Presiden Prabowo mengungkapkan ketidaksetujuannya mengenai hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi karena hukuman tersebut tidak memberikan ruang koreksi apabila terdapat kesalahan dalam proses hukum.<\/p>\r\n

\"Hukuman mati itu final dan kita tidak bisa hidupkan dia kembali. Meski kita yakin dia 99,9 persen bersalah, mungkin saja ada satu masalah ternyata dia korban atau di-frame <\/em>(dibingkai),\" kata Prabowo saat diwawancarai oleh jurnalis senior di Hambalang, Minggu (6\/4).<\/p>"},{"id":"57","judul":"KPK Beri Bantuan Hukum Untuk Penyidik Rossa Purbo Bekti","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Feisal, Rio","tempat":"Jakarta","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"Bantuan Hukum","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-04-10","updated_at":null,"user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/KPK_9_April_2025.jpg","dilihat":null,"deskripsi":"

Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan bahwa memberikan bantuan hukum untuk penyidik AKBP Rossa Purbo Bekti usai digugat secara perdata oleh mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Agustiani Tio Fridelina.<\/p>\r\n

“Pasti KPK akan memberikan bantuan hukum kepada AKBP Rossa Purbo Bekti dalam perkara tersebut,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Rabu.<\/p>\r\n

Tanak menjelaskan bahwa pemberian bantuan hukum tersebut diberikan karena Rossa merupakan pegawai KPK.<\/p>\r\n

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa bantuan hukum kepada Rossa akan berasal dari KPK.<\/p>\r\n

“Kuasa hukumnya dari Biro Hukum KPK,” ujarnya.<\/p>\r\n

Sebelumnya, mantan terpidana Agustiani Tio menggugat Rossa melalui tim kuasa hukumnya yang dipimpin oleh Army Mulyanto.

Gugatan didaftarkan ke Pengadilan Negeri Bogor Kelas IA karena Rossa tinggal di Kota Bogor, Jawa Barat.<\/p>\r\n

Army di PN Bogor Kelas IA, Selasa (11\/2), menjelaskan Agustiani Tio memperkarakan Rossa dengan menuntut ganti rugi Rp2,5 miliar terhadap aksi intimidasi.<\/p>\r\n

Ia menjelaskan bahwa Agustiani Tio menerima tindakan intimidasi ketika dimintai keterangan sebagai saksi di KPK oleh Rossa. Rossa disebut menggebrak meja pada saat pemeriksaan di ruang penyidikan.<\/p>\r\n

Ia bahkan menyebut Rossa ketika memeriksa Agustiani Tio mengintimidasi secara verbal, sehingga gugatan dilayangkan ke PN Bogor Kelas IA.<\/p>"},{"id":"56","judul":"Pemerintah Siapkan RUU Pelaksanaan Hukuman Mati","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Victoria Olivia, Agatha","tempat":"Jakarta","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"RUU Hukuman Mati","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-04-10","updated_at":null,"user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/Yusril_8_April_2025.jpg","dilihat":null,"deskripsi":"

Jakarta (ANTARA) - Pemerintah kini sedang mempersiapkan Rancangan Undang Undang (RUU) Pelaksanaan Hukuman Mati sebagai aturan turunan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang akan diterapkan pada 2 Januari 2026.<\/p>\r\n

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan UU tersebut dirancang seiring dengan kondisi Indonesia yang saat ini sedang dalam masa transisi dari KUHP lama peninggalan Belanda menuju KUHP Nasional.<\/p>\r\n

“Dalam KUHP Nasional ini, hukuman mati yang dijatuhkan tidak dapat langsung dilaksanakan,\" ucap Yusril, seperti dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.<\/p>\r\n

Dia menjelaskan pada KUHP baru, terpidana mati lebih dahulu harus ditempatkan dalam tahanan selama 10 tahun untuk dievaluasi apakah yang bersangkutan benar-benar sudah tobat dan menyesali perbuatannya atau tidak.<\/p>\r\n

Jika dinilai telah tobat, sambung dia, maka hukumannya dapat diubah menjadi hukuman seumur hidup. Ketentuan tersebut berlaku bagi narapidana hukuman mati, baik warga negara Indonesia (WNI) atau warga negara asing (WNA).<\/p>\r\n

Untuk itu, Menko menegaskan bahwa perubahan sistem hukum yang dibawa oleh KUHP Nasional akan terus menjadi perhatian pemerintah, terutama terhadap mereka yang telah dijatuhi hukuman mati berdasarkan KUHP lama.<\/p>\r\n

“Sebagai pemerintah, kami harus memikirkan bagaimana nasib terpidana mati berdasarkan KUHP Belanda yang sekarang sudah inkrah dengan berlakunya KUHP Nasional tahun depan,\" ucap dia.<\/p>\r\n

Dengan demikian apabila ada perubahan hukum, RUU Pelaksanaan Hukuman Mati akan mengatur hal itu dengan jelas agar ada kepastian hukum.<\/p>\r\n

Sebelumnya, Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Muda Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) Kementerian Hukum dan HAM RI Ramoti Samuel menegaskan bahwa hukuman mati bukan lagi masuk menjadi pidana pokok, melainkan pidana bersifat khusus dalam KUHP baru.<\/p>\r\n

Saat diskusi publik untuk memperingati Hari Antihukuman Mati Internasional 2024, Ramoti Samuel mengemukakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa komutasi atau pergantian pidana mati tidak lagi masuk sebagai pidana pokok sehingga hanya bersifat khusus dan menjadi alternatif.<\/p>\r\n

\"Dalam UU itu disebutkan pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun,\" kata Ramoti Samuel dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dengan tema Hukuman Mati dan Pengaruhnya dalam Menciptakan Rasa Aman kepada Masyarakat di Jakarta, Kamis (10\/10\/2024).<\/p>\r\n

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah tindak pidana dan mengayomi masyarakat sehingga hukuman pidana itu akan ditentukan dalam pasal tersendiri guna menunjukkan bahwa hal itu benar-benar bersifat khusus.<\/p>\r\n

Karena telah menjadi alternatif, kata dia, pidana mati sangat terbuka untuk menjadi bentuk hukuman lain sesuai dengan Pasal 68 ayat (3) KUHP yang mulai berlaku pada bulan Januari 2026.<\/p>\r\n

\"Dalam hal terdapat pilihan antara pidana mati dan pidana seumur hidup atau terdapat pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 tahun, pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 tahun berturut-turut,\" ujar pria yang kerap disapa Samuel tersebut.<\/p>\r\n

Selain itu, KUHP baru juga menekankan tentang penundaan pelaksanaan pidana mati dengan sejumlah kriteria sesuai dengan Pasal 99 ayat (4). Kriteria yang dimaksud, yaitu perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui bayinya, dan orang yang sakit jiwa.<\/p>"},{"id":"55","judul":"158.351 Narapidana Terima Remisi Khusus dan PMP Nyepi-Idul Fitri 2025","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Setiawan, Fikri","tempat":"Kabupaten Bogor","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"Remisi","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-03-29","updated_at":"2025-03-29","user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/REMISI_28_MARET1.jpg","dilihat":"2","deskripsi":"

Kabupaten Bogor (ANTARA) - Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) memberikan remisi khusus (RK) dan pengurangan masa pidana (PMP) dalam rangka Nyepi dan Idul Fitri tahun 2025 yang diterima 158.351 narapidana di seluruh Indonesia.<\/p>\r\n

Menteri Imipas Agus Andrianto menyerahkan dokumen remisi kepada narapidana secara simbolis dalam kegiatan yang berlangsung hibrida di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat.<\/p>\r\n

Pada perayaan Hari Raya Nyepi, sebanyak 2.039 narapidana dan anak binaan beragama Hindu menerima RK dan PMP.<\/p>\r\n

Dengan rincian, 1.609 narapidana menerima RK I yaitu pengurangan sebagian masa pidana, 20 narapidana menerima RK II yaitu langsung bebas setelah menerima Remisi, dan 12 anak binaan menerima PMP I yaitu pengurangan sebagian masa pidana.<\/p>\r\n

Sedangkan, sebanyak 156.312 narapidana dan anak binaan beragama Islam menerima RK dan PMP khusus Idul Fitri 1446 Hijriah.<\/p>\r\n

Dengan rincian, 154.170 narapidana dan 1.214 anak binaan menerima RK I dan PMP I yaitu pengurangan sebagian masa pidana, 908 narapidana dan 20 anak binaan langsung bebas setelah menerima RK II dan PMP II.<\/p>\r\n

\"Pemberian remisi dan pengurangan masa pidana khusus pada hari raya Nyepi dan Idul Fitri adalah wujud perhatian dan penghargaan negara kepada narapidana dan anak binaan yang telah menunjukkan perubahan perilaku positif dan menunjukkan komitmen dalam pembinaan,\" kata Agus.<\/p>\r\n

Menurut dia, pemberian remisi buka hanya sebagai penghargaan bagi mereka yang berperilaku baik, melainkan juga sebagai penghormatan terhadap hak-hak warga binaan sesuai ketentuan yang berlaku.<\/p>\r\n

\"Rutan Lapas dan LPKA bukanlah tempat untuk membelenggu, tapi untuk introspeksi belajar, mempersiapkan diri menjadi bagian yang lebih baik di masyarakat,\" ujarnya.<\/p>\r\n

Pemberian RK dan PMP Khusus merupakan bentuk pemenuhan hak Warga Binaan oleh negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.<\/p>\r\n

Selain itu, pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 diatur lebih lanjut bahwa Narapidana yang menerima Remisi harus telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan, sedangkan Anak Binaan yang menerima PMP harus telah menjalani pidana lebih dari tiga bulan.<\/p>\r\n

Khusus bagi Narapidana Terorisme, Remisi dapat diberikan jika telah mengikuti program deradikalisasi dan berikrar setia NKRI.<\/p>"},{"id":"54","judul":"Peneliti BRIN Harap Kejagung Tetap Steril Dari Kepentingan Politik","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Victoria Olivia, Agatha","tempat":"Jakarta","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"Kejagung","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-03-29","updated_at":"2025-03-29","user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/brin_28_maret.jpg","dilihat":"2","deskripsi":"

Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Bidang Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ismail Rumadan berharap Kejaksaan Agung (Kejagung) tetap steril dari kepentingan politik yang dapat merusak institusi penegak hukum.<\/p>\r\n

Sebab, menurutnya, rakyat akan marah ketika ada kasus korupsi melibatkan pejabat tinggi atau pengusaha besar yang diistimewakan.<\/p>\r\n

\"Misalnya proses hukum diperlambat atau bahkan dihentikan karena adanya kepentingan politik atau kekuasaan yang melindungi,\" ujar Ismail dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.<\/p>\r\n

Maka dari itu, kata dia, harus dibuktikan bahwa Kejaksaan bukan merupakan alat yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan.<\/p>\r\n

Selain itu, dia meminta agar Kejagung sebagai lembaga garda terdepan dalam perang melawan korupsi, terus menunjukkan dengan tidak membedakan siapa pun yang terlibat, melalui kewenangan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi yang masih melekat.<\/p>\r\n

\"Jangan ada upaya untuk mengebiri kewenangan jaksa, lalu harus ada penguatan integritas dan komitmen yang tinggi kejaksaan,\" katanya.<\/p>\r\n

Ismail mengaku sempat khawatir dengan isu dalam pembahasan revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akan memereteli kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.<\/p>\r\n

Ia menegaskan bahwa seharusnya fungsi penyidikan harus diperkuat, khususnya kejaksaan yang sudah tetap dan permanen.<\/p>\r\n

Kejaksaan, sambung dia, juga harus terus menggelorakan perang melawan korupsi dan tidak kendur, apalagi lengah, karena koruptor punya banyak cara untuk mencari celah dan \"memukul\" balik.<\/p>\r\n

\"Kita tidak mau koruptor yang jadi pemenangnya, seorang jaksa harus punya integritas tinggi,\" ucap Ismail.<\/p>\r\n

Dirinya pun mengaku mendukung upaya pemberantasan korupsi oleh Kejagung. Komitmen yang ditunjukkan oleh Kejagung, lanjutnya, harus terus didukung karena mampu menekan dan mencegah praktik korupsi yang semakin merajalela.<\/p>\r\n

Beberapa tahun terakhir, rapor hijau Kejagung dalam penanganan kasus korupsi menjadi penanda peran penting yang dimainkan Korps Adhyaksa dalam pemberantasan korupsi.<\/p>\r\n

Sejumlah kasus besar yang melibatkan pejabat negara hingga pengusaha dengan taksiran kerugian negara ratusan triliun rupiah disikat dan dibuktikan ke meja hijau.<\/p>\r\n

Berdasar survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) medio 20-28 Januari 2025, Kejagung menjadi lembaga yang paling dipercaya publik untuk memberantas korupsi.<\/p>\r\n

Beberapa kasus besar seperti kasus PT Asuransi Jiwasraya, kasus PT Timah, serta dugaan korupsi yang terjadi di PT Pertamina Patra Niaga mendapatkan apresiasi.<\/p>"},{"id":"52","judul":"TNI: Oknum Yang Terbukti Bunuh Jurnalis di Kalsel Akan Dihukum Berat","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Marison, Walda","tempat":"Jakarta","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"Oknum TNI","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-03-29","updated_at":"2025-03-29","user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/TNI_27_MARET.jpg","dilihat":"2","deskripsi":"

Jakarta (ANTARA) - Pihak Markas Besar (Mabes) TNI memastikan akan menghukum berat terhadap anggota TNI AL jika terbukti jadi pelaku pembunuhan jurnalis wanita di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.<\/p>\r\n

\"Kalau memang terbukti dia, memang dia pelakunya, ya nggak ada ampun. Hukum seberat-beratnya,\" kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Mabes TNI Brigjen TNI Kristomei Sianturi saat ditemui di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis.<\/p>\r\n

Kristomei menjelaskan sampai saat pihaknya masih menunggu proses penyelidikan yang sedang dilakukan pihak Polisi Militer Angkatan Laut.<\/p>\r\n

Karenanya, Mabes TNI belum bisa memberikan tanggapan terlalu jauh atas kasus pembunuhan tersebut.<\/p>\r\n

Namun demikian, Kristomei mengaku sudah menerima beberapa informasi terkait kasus pembunuhan tersebut, diantaranya yakni soal bukti bahwa korban adalah kekasih dari oknum TNI AL Kelasi J.<\/p>\r\n

\"Apakah betul Kelasi J itu adalah pelakunya? Karena ini sifatnya baru informasi dari pihak keluarga. Karena ternyata si kelasi J ini adalah pacar dari korban,\" kata Kristomei.<\/p>\r\n

Lebih lanjut, Kristomei berharap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan pihak polisi militer bisa berjalan dengan independen.<\/p>\r\n

Komandan Detasemen Polisi Militer (Dandenpom) Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Balikpapan Mayor Laut PM Ronald Ganap membenarkan seorang oknum anggota terlibat dalam dugaan kasus pembunuhan seorang jurnalis wanita di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.<\/p>\r\n

\"Oknum itu berinisial J pangkat kelasi satu, bertugas di Lanal Balikpapan baru sekitar 1 bulan. Sebelumnya, yang bersangkutan pernah bertugas di Lanal Banjarmasin,\" jelas Ronald Ganap di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur (26\/3).<\/p>\r\n

Kelasi Satu J asal Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, yang mengabdi sebagai TNI AL selama 4 tahun tersebut sudah diamankan Pom Lanal Balikpapan.<\/p>\r\n

\"Sesuai dengan arahan pimpinan TNI AL, proses hukum akan disampaikan secara terbuka sebagai wujud transparansi pengungkapan kasus yang libatkan oknum anggota. Tidak ada yang ditutupi,\" katanya.<\/p>\r\n

Ditegaskan pula bahwa terduga pelaku akan diberikan sanksi dan hukuman yang seberat-beratnya sesuai dengan perbuatannya.<\/p>\r\n

\"Hukuman yang pasti pemberhentian secara tidak hormat (PTDH),\" ujarnya.<\/p>\r\n

Korban seorang wanita bernama Juwita (23) bekerja sebagai jurnalis media dalam jaringan (daring) lokal. Peristiwa terjadi pada tanggal 22 Maret 2025.<\/p>\r\n

Sementara itu, Kapolda Kalimantan Selatan Irjen Pol. Rosyanto Yudha Hermawan memberikan atensi agar penyelidikan misteri tewasnya seorang wartawati di Kota Banjarbaru bernama Juwita harus dapat terungkap.<\/p>\r\n

Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalimantan Selatan berjanji hasil penyelidikan disampaikan dalam waktu dekat setelah ada hasil dari penyidik, segala petunjuk masih dikumpulkan polisi termasuk hasil visum dan sebagainya.<\/p>\r\n

Untuk diketahui, jurnalis muda asal Kota Banjarbaru Juwita ditemukan meninggal dunia di Gunung Kupang, Kelurahan Cempaka, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, Sabtu (22\/3) sekitar pukul 15.00 Wita.<\/p>\r\n

Jasadnya tergeletak di tepi jalan bersama sepeda motor miliknya yang kemudian muncul dugaan menjadi korban kecelakaan tunggal.<\/p>"},{"id":"51","judul":"Jaksa: Delik Perkara Hasto Bukan Terkait Kerugian Negara","jenis":"","tahun":"2025","teu":"Mulya, Fath Putra","tempat":"Jakarta","sumber":"Kantor Berita Indonesia Antara","bidang":"Hukum Pidana","subjek":"Kerugian Negara","bahasa":"Indonesia","lokasi":"Indonesia","created_at":"2025-03-29","updated_at":null,"user":"Admin JDIH","file":"images\/artikel_hukum\/JAKSA_27_MARET.jpg","dilihat":"2","deskripsi":"

Jakarta (ANTARA) - Jaksa penuntut umum KPK menyatakan bahwa delik perkara yang menyeret Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto bukan terkait kerugian negara, melainkan suap sehingga komisi antirasuah tetap berwenang mengusut perkara itu meski kerugian negara tidak mencapai Rp1 miliar.<\/p>\r\n

Ihwal tersebut disampaikan jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, sebagai tanggapan atas nota keberatan atau eksepsi Hasto dan penasihat hukumnya yang menyebut tidak ada kerugian negara dalam kasus dugaan perintangan penyidikan Harun Masiku dan pemberian suap.<\/p>\r\n

\"Perkara a quo (Hasto, red.) bukanlah perkara yang deliknya terkait dengan kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), tetapi terkait pasal suap vide (lihat, red) Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Tipikor,\" kata jaksa.<\/p>\r\n

Menurut jaksa, Hasto dan tim kuasa hukumnya keliru memaknai ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yakni terkait batasan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan suatu perkara tindak pidana korupsi.<\/p>\r\n

Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus yang: a.<\/em> Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara <\/em>dan\/atau b. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.<\/em><\/p>\r\n